Mengenal Apa Itu Lolicon dan Shotacon Sebenarnya

    0
    Mengenal Apa Itu Lolicon dan Shotacon Sebenarnya

    Bagi kalian yang sering mengikuti perkembangan anime dan manga, istilah “lolicon” dan “shotacon” mungkin sudah tidak begitu asing lagi. Seiring makin banyaknya judul-judul dari Jepang yang masuk ke Indonesia, kedua kata ini pun semakin sering terdengar. Sayangnya, kedua kata ini juga sama-sama sering disalahartikan, seringkali langsung dianggap sebagai salah satu bentuk perilaku pedofilia dan selalu identik dengan konten pornografi. Namun, sebenarnya apa arti dari kedua kata ini dalam konteks budaya pop Jepang?

    Definisi dan Asal-Usul Kata Lolicon dan Shotacon

    Lolicon merupakan sebuah akronim atau singkatan dari frasa “Lolita complex”. Di negara asalnya, Jepang, istilah ini digunakan untuk menjelaskan adanya sebuah ketertarikan pada karakter anak-anak atau yang berpenampilan seperti anak-anak. Istilah lolicon secara spesifik memiliki referensi untuk karakter anak perempuan, sedangkan istilah yang digunakan untuk ketertarikan pada karakter anak laki-laki adalah shotacon. Elemen-elemen ini biasanya tampak secara eksplisit pada publikasi-publikasi yang ditujukan untuk orang dewasa di Jepang, seperti pada permainan eroge dan manga pornografi.

    Baca juga: Inilah Lagu Kolaborasi JKT48 dan Musikal Keluarga Cemara, Waktunya Membuktikan!

    Umumnya, karakter yang ditampilkan dalam konten semacam ini merupakan karakter di bawah umur (17 tahun ke bawah), dengan fenomena yang paling sering dijumpai adalah menggunakan latar usia remaja SMP hingga SMA. Karakter lolicon biasanya memiliki ciri khas fisik seperti dada yang rata (meskipun tidak selalu menjadi patokan), postur badan yang kecil, serta penampilan keseluruhan yang seperti anak-anak. Menariknya, terkadang karakter yang memiliki ciri-ciri lolicon ini juga bisa disebut sebagai karakter yang “moe”, sebuah istilah lain yang sangat populer di kalangan penggemar.

    Maraknya Fenomena Lolicon dan Shotacon di Indonesia

    Di Indonesia sendiri, fenomena lolicon sebenarnya baru mulai terasa marak sejak sekitar awal tahun 2005. Hal ini terjadi seiring dengan masuknya beberapa judul manga dan anime yang menampilkan banyak unsur fanservice. Salah satu yang paling utama adalah manga Negima!, yang memiliki latar cerita unik tentang seorang guru laki-laki berusia 9 tahun yang dikelilingi oleh siswi-siswi SMP di kelasnya. Selain itu, ada pula anime Kodomo no Jikan yang cukup dikenal di kalangan komunitas penggemar di Indonesia karena unsur loliconnya yang sangat kental.

    Baca juga: Ulasan Komik Taisho Chic, A Crane’s Love Story: Perasaaan Cinta Sejati Tidak Akan Menolak Kenyataan yang Ada

    Dari sisi hukum, status fenomena ini ternyata masih berada di wilayah abu-abu dan berbeda di tiap negara. Menurut Undang-Undang Pornografi Anak yang berlaku di Jepang saat ini, konten lolicon tidak terkena dampak regulasi tersebut. Alasannya adalah karena ia tidak termasuk dalam kategori “karya nyata” atau tidak melibatkan manusia sungguhan. Sebaliknya, di Inggris, parlemen telah mengusulkan amandemen undang-undang pornografi yang jika disahkan, nantinya dapat menjerat orang yang memiliki, menyimpan, dan mengedarkan materi pornografi anak dalam bentuk fiksi seperti kartun.

    Kekhawatiran dan Tuntutan Pelarangan

    Walau demikian, telah timbul kekhawatiran dari sejumlah pihak mengenai fenomena ini. Karena penggunaannya sering menimbulkan kesalahpahaman dan diartikan juga sebagai pedofilia oleh masyarakat awam, banyak pihak yang menuntut agar konten berbau lolicon dihapuskan di Jepang. Tekanan ini tidak hanya datang dari dalam negeri, bahkan Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun pernah meminta agar Jepang melarang peredaran hal-hal yang berbau lolicon, seperti yang pernah dilaporkan oleh Kyodo News.

    Sumber