Jakarta, Senin, 8 Desember 2025 – Kompleks Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, umumnya dikenal sebagai pusat aktivitas politik yang formal dan kaku. Di sinilah berbagai kebijakan publik diperdebatkan dan anggaran daerah diputuskan. Namun, stigma kaku tersebut seolah luntur ketika memasuki ruang kerja Bang Ken atau Hardiyanto Kenneth, anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan.
Di tengah tumpukan dokumen dinas, buku-buku referensi hukum, dan lambang negara yang menandakan tugasnya sebagai wakil rakyat, terdapat pemandangan kontras yang menarik perhatian. Sebuah etalase hobi terpampang nyata. Figur Batman dengan jubah hitamnya berdiri gagah, berdampingan dengan karakter-karakter dari serial anime Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba, serta replika kapal Thousand Sunny dari serial One Piece.
Pria yang akrab disapa Bang Ken ini tidak menutupi ketertarikannya pada budaya pop Jepang dan pahlawan super. Dalam wawancara eksklusif dan mendalam bersama Tim KAORI Nusantara, Sebagai Otaku jadul, Bang Ken membuka sisi lain dari kehidupannya yang jarang terekspos ke publik: seorang kolektor, penikmat anime sejak era 80-an, dan kini, pengemban amanah sebagai Ketua Umum Festival Budaya Jepang Internasional, Djakarta Ennichi.
Filosofi di Balik Topeng: Refleksi Batman dan Tugas Publik
Diskusi dimulai dengan membahas salah satu koleksi yang paling menonjol di ruangannya: Batman. Bagi Bang Ken, ketertarikannya pada karakter Bruce Wayne melampaui sekadar desain visual atau aksi laga. Ia melihat adanya kedalaman filosofis dari latar belakang karakter tersebut yang relevan dengan prinsip hidupnya.
Baca juga: Pramono Anung Ngechant Bareng Komunitas di Little Tokyo Junction
“Karakter Batman atau Bruce Wayne ini unik. Ia lahir dari sebuah kesedihan mendalam dan trauma akibat kehilangan kedua orang tuanya karena kejahatan. Namun, yang menarik adalah bagaimana ia merespons tragedi tersebut. Ia tidak larut dalam dendam yang destruktif, melainkan mendedikasikan kekayaan dan hidupnya untuk memastikan tidak ada orang lain yang merasakan penderitaan serupa,” jelas Bang Ken.

Bang Ken menarik garis paralel antara dedikasi karakter fiksi tersebut dengan realitas pengabdian di ruang publik. Menurutnya, memilih jalan untuk mengabdi baik sebagai pahlawan fiksi maupun pejabat publik memiliki risiko tersendiri, termasuk menghadapi kesalahpahaman.
“Menjadi seseorang yang mendedikasikan diri untuk orang banyak itu berisiko. Batman sering kali bekerja dalam sepi, bahkan disalahpahami. Dalam skala yang berbeda, ketika saya memutuskan untuk mendedikasikan diri dan membuka identitas saya yang menyukai budaya pop ini, tentu ada konsekuensinya. Ada potensi dicemooh atau dianggap aneh. Namun, seperti Batman, kita harus siap dengan konsekuensi tersebut demi tujuan yang lebih besar,” paparnya.
Demon Slayer: Empati dan Semangat Kepemimpinan dalam diri Bang Ken
Pembicaraan berlanjut ke serial anime yang sangat digandrungi saat ini, Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba. Bang Ken menunjukkan pemahaman yang mendalam mengenai alur cerita dan karakterisasi dalam serial ini. Ia mengapresiasi cara penceritaan yang sinematik dan bagaimana serial ini tidak hanya menyajikan pertarungan, tetapi juga sisi humanis dari setiap karakter, termasuk para antagonis.
“Serial ini memiliki jalan cerita yang menyentuh. Setiap iblis (demon) di sana memiliki latar belakang kisah yang menyedihkan. Contohnya karakter Akaza, atau kakak beradik Daki dan Gyutaro. Mereka menjadi jahat sering kali karena keadaan yang memaksa, kemiskinan, atau ketidakberdayaan. Hal ini mengajarkan kita tentang empati, bahwa di balik tindakan seseorang, mungkin ada latar belakang tragis yang membentuknya,” urai Bang Ken.
Namun, fokus utama Bang Ken dalam serial ini adalah karakter Kyojuro Rengoku, sang Hashira Api. Bagi Bang Ken, Rengoku merepresentasikan nilai-nilai ideal seorang pemimpin yang berintegritas.
“Saya mencoba menerapkan ‘Semangat Hashira‘ dalam tugas saya. Semangat itu meliputi integritas, kesetiakawanan, dan keberanian untuk melindungi. Rengoku mampu membimbing karakter utama seperti Tanjiro, Zenitsu, dan Inosuke untuk keluar dari zona nyaman mereka dan menjadi lebih kuat. Tanpa pertemuan dengan Rengoku, mungkin perkembangan karakter Tanjiro tidak akan sepesat itu,” ujarnya.

Ia juga menyinggung karakter Zenitsu Agatsuma dan Inosuke Hashibira sebagai representasi sifat manusia yang beragam. Zenitsu yang penakut namun bisa diandalkan saat mendesak, serta Inosuke yang liar karena dibesarkan di hutan, menunjukkan bahwa setiap individu dengan latar belakang berbeda dapat bersatu dalam sebuah perjuangan jika memiliki tujuan yang sama.
One Piece dan Preferensi Karakter Maskulin
Ketika membahas One Piece, Bang Ken memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Meskipun mengakui bahwa karya Eiichiro Oda tersebut adalah sebuah legenda global dan anaknya sendiri sangat menggemari karakter Monkey D. Luffy, Bang Ken melihat One Piece lebih sebagai hiburan dengan imajinasi yang sangat liar.
“Imajinasi di One Piece itu luar biasa liar. Luffy bisa memanjangkan tubuh, lalu ada transformasi Gear 5 yang mengubah segalanya menjadi putih. Itu sangat menghibur, namun frekuensinya agak sulit jika dikaitkan langsung dengan realitas kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan Demon Slayer yang lebih emosional,” ungkapnya.
Meski demikian, Bang Ken memiliki karakter favorit dalam serial tersebut, yaitu Roronoa Zoro. Ia merasa memiliki kemiripan karakter dengan pendekar pedang tersebut. Zoro dinilainya sebagai representasi karakter yang maskulin, setia kawan, dan memiliki prinsip yang teguh.
“Saya ini tipe lone wolf (serigala penyendiri). Saya terbiasa berjalan sendiri, bahkan saat ke Akihabara di Jepang. Zoro itu karakter yang ‘laki banget’, besar, kuat, dan bicaranya ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-aling. Itu mirip dengan gaya saya. Namun, di balik sikap kasarnya, ia memiliki loyalitas tinggi pada kawan-kawannya (nakama). Semangat Bushido dan kesetiakawanan itulah yang saya ambil,” jelas Bang Ken. Sebaliknya, ia mengaku kurang cocok dengan karakter Sanji.
Bersambung ke halaman selanjutnya.










