Menurut guzzu, bagus tidaknya animasi itu ditinjau dari aspek apa?

Animasi yang bagus itu biasanya dilihat dari seberapa banyak gambar animator tersebut menganimasikan adegan tersebut terlihat halus dan konsisten.

Apakah ini berarti semakin banyak frame semakin baik? Karena setahu saya ada beberapa animator seperti Yoshinori Kanada atau atau Hiroyuki Imaishi yang sengaja membuat animasi mereka terlihat patah-patah?

Hiroyuki Imaishi, Yoshinori Kanada, dan animator-animator yang punya ciri khas “animasi patah-patah” itu menurut saya sebuah pengecualian. Soalnya ciri khas animasi mereka bisa mencampur style barat yang cartoonish namun dinamis, contoh seperti animasinya Disney yang jadul-jadul yang selalu punya ekspresi-ekspresi wajah yang exagerrated/berlebihan, tapi Imaishi/Kanada membuatnya dengan frame yang lebih efisien. Saya yakin animator-animator seperti Imaishi seringkali bereksperimen dengan style animasi ‘patah-patah’ mereka. Jika ada yang mengkritik animasi mereka patah-patah/tidak halus, saya yakin itu hanya opini dan taste orang yang berbeda-beda.

Salah satu cut Imaishi di FLCL Episode 5 (©Gainax/KGI)

Alasan lain mengapa animasi mereka patah-patah mungkin supaya bisa membantu mempercepat waktu produksi yang padat. Generasi anime sekarang sudah banyak studio yang membuat animasi tidak sehalus seperti dulu. Dulu ada industri animasi di Jepang yang banyak terinspirasi dengan style animasi di barat. Misal seperti Studio Ghibli di mana karakter-karakternya jarang diam di tempat dan selalu dianimasikan. Selain itu juga ada film seperti Kobu Tori (1929), Ugokie Korino Tatehiki (1933), The Tale of the White Serpent (1958), dan masih banyak lagi yang terinspirasi dari Disney dan animasi barat. Teman-teman bisa cari sejarah animasi Jepang di internet sudah banyak bisa diakses.

Pergantian style animasi Jepang mungkin pada saat jaman-jamannya Tetsuwan Atom (Astro Boy) diproduksi, di mana karakter-karakter anime tersebut cukup terlihat khas seperti anime zaman sekarang, walau masih ada beberapa influence baratnya. Animator seperti Yoh Yoshinari dan Takafumi Hori juga belajar banyak dari style animasi dari barat. Takafumi Hori malah pernah kontribusi buat kartun Steven Universe dan kemungkinan dia akan kontribusi banyak lagi. Saya lebih suka animator seperti Yoh Yoshinari, Kou Yoshinari (kakaknya) dan Takafumi Hori daripada style animasi patah-patah seperti Hiroyuki Imaishi dan Yoshinori Kanada.

Memang maklum animasi di Jepang terlihat patah-patah dibanding animasi di negara lain, soalnya memang sudah tidak bisa dihindari karena di Jepang sistem entertainment-nya harus siap tayang setiap minggu. Misal lebih dekat itu ya seperti mereka memperlakukan animasi seperti sinetron Indonesia. Cerita yang di recycle, animasi yang murahan, tapi gampang dicerna sama penonton yang biasa-biasa saja. Animator seperti saya dan teman-teman sakuga saya tidak begitu suka dan selalu tertekan dengan deadline yang tidak manusiawi tersebut. Kami lebih respek dengan industri yang lebih memikirkan kualitas dan memberikan kami para kreator waktu untuk membuat seni tersebut, daripada diperlakukan seperti gorengan siap saji dengan rasa yang hambar.

Ah, isu tentang padatnya produksi anime memang jadi topik yang hangat sekarang. Beberapa orang di komunitas Sakuga sudah lama mengingatkan agar penggemar anime lebih aware dengan isu semacam ini. Nice sekali bisa mendapatkan insight dari orang yang pernah kerja langsung di industri ini. 

Iya betul, maka dari itu kenapa saya tidak begitu suka berkontribusi untuk anime akhir-akhir ini. Saya lebih prefer kerja sama industri barat, bukan karena tergiur dengan gaji yang banyak, tapi karena saya dan teman-teman animator lain merasa waktu kami lebih dihargai, dan kami bisa semaksimal mungkin membuat animasi yang lebih bagus.

Kenapa orang Jepang tidak pernah mengeluh masalah uang dan deadline yang mepet? Saya yakin karena itu sudah mindset/pola pikir mereka yang ditanam sejak kecil. Selain itu mereka juga tidak punya banyak koneksi dengan orang barat, padahal kedua pihak pada ingin membuat koneksi untuk kolaborasi bikin anime/kartun bersamaan, membangun bisnis dan sebagainya. Studio Trigger baru-baru ini juga baru dapat koneksi dengan orang-orang Crunchyroll, mereka diberikan privilege untuk hadir di Amerika dan mengenalkan animenya secara langsung di sana. Industri animasi antara barat dan timur sekarang sudah makin bisa bersahabat, mungkin 2-5 tahun lagi makin banyak jalur dan koneksi antar industri tersebut.

Saya dan teman-teman animator freelance lainnya juga pastinya dapat keuntungan, saya berharap nanti makin banyak animator-animator dari negara yang kecil produksi entertainment-nya seperti di Indonesia. TIDAK HARUS berkontribusi untuk negara sendiri menurut saya tidak masalah. Sukses itu tidak dibatasi dari patriotisme, nasionalisme, dan agama.

Ketika bekerja di anime sendiri, adakah cerita yang bisa guzzu share tentang padatnya produksi anime itu sendiri? Mungkin cerita tentang bagaimana guzzu harus menghadapi deadline yang mepet atau cerita sejenis?

Pada saat waktu produksi Boruto, kami hanya diberi waktu dua minggu lima hari untuk menganimasikan adegan bertarung di episode 65. Weilin Zhang dan saya diberi adegan masing-masing satu menit (55 detik~60 detik), frame yang harus kami kerjakan bisa lebih dari 1300+ frame/Gambar. Weilin dan saya diberikan adegan paling krusial di episode tersebut, sedangkan teman-teman animator saya yang lain hanya diberikan beberapa detik (3~10 detik). Dalam deadline semepet itu, kami harus bisa menyelesaikan semua animasi dari karakter, efek, ledakan, layout background, kamera, hingga cleaning up.

Situasi saya waktu itu sangat padat, karena waktu itu saya mengerjakan Castlevania dan Boruto bersamaan, dengan deadline yang juga overlayed/bersamaan. Sebenarnya kerjaan saya di kedua proyek tersebut saya belum mengeluarkan potensi sepenuhnya. Ada beberapa adegan di Castlevania di mana kualitas saya tidak maksimal karena deadline yang bersamaan tersebut, kecuali adegan ledakan dan saat Trevor melawan Monster di jembatan yang jatuh itu saya diberikan waktu lebih banyak untuk menganimasikan adegan itu. Selain kedua proyek itu ada beberapa proyek anime lain yang membuat saya cabut di tengah-tengah produksi. Sebabnya saya overworking, jarang tidur, memikirkan gaji yang sedikit tersebut bisa untuk apa, yang pada akhirnya saya putuskan untuk berhenti berkontribusi di industri Jepang.

Cut guzzu di Boruto episode 65

Karena kita baru membahas cerita negatif di balik produksi anime, saya ingin bertanya: adakah hal positif yang guzzu dapatkan selama bekerja di industri ini?

Hal yang positif tidak banyak. Pertama, saya belajar memahami workflow industri Jepang. Kedua belajar style yang berbeda-beda. Ketiga, industri di barat (Amerika/Eropa) biasanya melirik banyak animator yang bisa mengerjakan style-styleSakuga” Jepang tersebut, banyak industri barat yang suka dengan kedinamisan koreografi dan karya-karya aksi orang Jepang. “Sakuga” sekarang makin dilirik sama industri barat. Tapi saya sangat tidak merekomendasikan untuk kalian yang mau banget try-hard untuk berkontribusi di anime Jepang.

Saya beri saran kalau teman-teman ingin banget mengerjakan anime, kalau bisa kontribusi satu kali/dua kali dalam satu tahun, dengan harapan kamu harus bisa membuat animasi yang bisa menembus ekspetasi banyak orang. Itu bukan hal yang mudah, tapi saya yakin nanti kamu akan ditawar industri yang akan menawarkan kamu pekerjaan yang lebih manusiawi. Jangan jadikan profesi animator di Jepang sebagai full-time. Tapi kalau kamu mau terus berkontribusi untuk anime, cari pekerjaan remote untuk orang Barat, cari pegangan hidup (uang saku) supaya kamu tidak stress. Ingat, saya sangat tidak melarang kamu untuk jadi full-time di sana. Silahkan dicoba jika kamu punya jiwa yang tegar, atau masokis. lol

Apa yang kira-kira seharusnya animator dan para pekerja industri animasi lakukan untuk memecahkan masalah produksi anime yang super padat ini?

Yang pantas ditunjuk adalah atasan-atasan di industri anime, bukan animatornya. Seharusnya seorang leader/atasan harus bisa memikirkan kondisi animatornya dan tidak memperlakukan mereka seperti mesin pencetak uang. Banyak yang tidak peduli dengan kualitas animator di sana, yang mereka pentingkan adalah animasinya bisa bergerak sedikit dan cuma mulut saja yang dianimasikan. Apalagi mereka lebih membayar lebih ke Voice Actor ketimbang Animator yang membuat animasi tersebut hidup.

Bagaimana prospek animator Indonesia untuk bekerja di luar negeri? Resiko apa yang harus mereka hadapi? Bagaimana tanggapan guzzu tentang komunitas sakuga saat ini? Wawancara KAORI Nusantara dengan guzzu berlanjut di halaman ketiga.

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses