Anime Culture dan Jilbab

    0

    Seiring dengan gencarnya pengaruh Jepang ke Indonesia, tanpa kita sadari semakin banyak Muslim yang ikut menggemari budaya Jepang. Sehingga, Redaksi pun mengangkat Anime dan Jilbab, yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali.

    Hal ini bermula ketika Geddoe mengkaji banyaknya remaja Muslim yang menyenangi budaya Jejepangan ini, seperti yang dapat ditemukan di forum MyQuran. Ia menemukan korelasi yang jelas, bahwa umumnya remaja Muslim saat ini condong memilih budaya Jepang sebagai alternatif daripada budaya Barat.

    Fenomena ini dapat dijumpai di banyak tempat, salah satu contoh adalah mading (majalah dinding) di ROHIS (Rohani Islam) di berbagai SMP dan SMA, yang dihiasi berbagai gaya gambar manga bernuansa Islami.

    Hal ini pun didukung oleh pemikiran sebagian golongan “terpelajar” ini, untuk mencari patron budaya lain yang dapat dipakai untuk melawan hegemoni budaya Barat, yang sudah terlanjur mereka cap negatif.

    Yang juga menarik, adalah ketertarikan mereka pada budaya Jepang tidak hanya pada mereka yang masih “pemula” pemahaman Islamnya, namun juga dianut oleh mereka yang sudah cukup kental pemahaman Islamnya.

    Maka, tak heran jika banyak siswi-siswi SMA berjilbab (bukan yang berjilbab jadi-jadian) yang dengan bangga memasang pin Sasuke ataupun L di tas mereka, ataupun menjadikannya sebagai peniti untuk jilbab mereka.

    Kajian Geddoe terhadap gejala ini menunjukkan, “sinkretisme” atau “asimilasi” budaya Jepang dengan pemahaman Islam para remaja SMA adalah suatu perpaduan unik, yang membuat kedua kebudayaan yang bertolak belakang ini, muncullah sebagai sebuah persatuan, yang saling melengkapi satu sama lain.

    Sehingga, Jepang pun dapat digunakan sebagai media dakwah Islam, seperti pada contoh majalah dinding ROHIS SMA masa kini.

    Lalu, mengapa “asimilasi” budaya ini bisa terjadi? Kajian Geddoe menunjukkan, hal ini juga didorong oleh rasa benci mereka akan kebudayaan Barat, dan perlunya perwakilan citra Islam, sehingga dapat melakukan dakwah di jalur pop culture. Teori Geddoe menyatakan demikian.

     

    Setidaknya, ada satu hal yang membuat Islam [sekurangnya di bawah sadar] merasa perlu untuk mem-blend diri mereka dengan budaya pop. Hal yang sama berhasil dilakukan dengan baik oleh sang (supposedly) arch-enemy, Kristen. Ingat Christ Rock, serta penampilan organisasi Gereja di dunia hiburan: Van Helsing, Chrno Crusade, dan lain-lain sebagainya.

    Kartu as ini tidak dimiliki Islam. Oleh karena itu, tampaknya terbentuk keinginan agar, entah bagaimana, Islam pun bisa berbaur dan memiliki perwakilan di bidang pop-culture.

    Walau demikian, Geddoe bertanya, mengapa harus Jepang? Baginya, bukankah budaya Jepang pun memiliki unsur yang tidak kalah parahnya daripada Amerika? Seperti dunia hentai dan ecchi mereka yang laris manis di dunia?

    Pertanyaan ini dijawab oleh Sora-kun dengan baik.

     

    Memang benar budaya Jepang mempunyai sisi permisifnya sendiri. Dan mereka memang cenderung menganut liberalisme — tak jauh beda dengan Amerika maupun Eropa pada umumnya.

    Tapi, meskipun begitu, ada pengecualian: budaya Jepang, yang diwakili oleh hiburan mereka, memiliki nilai-nilai Timur yang dihargai oleh kita di Indonesia… yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Keutamaan akan sikap sopan; keadaan keluarga yang guyub; hormat pada guru/senior; dan semangat individualisme yang lebih rendah dibandingkan dengan counterpart mereka dari Barat. Inilah yang tercermin di berbagai media, baik itu manga, anime, ataupun dorama.

    Di Party of Five dan Friends, Anda menemukan anak-anak yang berusaha mandiri dan jauh dari orangtua — tetapi, di Ichi Rittoru no Namida dan Dragon Zakura, misalnya, Anda menemukan bahwa orangtua dan keluarga adalah hal yang sama pentingnya dengan usaha menjalani hidup dan menjadi dewasa.

    Karena itulah, hipotesis ini memberikan kesimpulan: budaya Jepang memiliki faktor tertentu yang menarik, sehingga dapat diterima lebih baik oleh para remaja Islam.

    Konklusinya, budaya Jepang di Indonesia diterima sebagai sebuah alternatif pilihan, yang mampu mengisi kekosongan remaja Muslim akan pop culture, setelah budaya Barat dirasa tidak cocok lagi untuk mereka ambil.

    Walau demikian, artikel ini tidak bermaksud menjustifikasi bahwa “budaya Jepang adalah lebih baik daripada budaya Barat”, ataupun “adalah baik mencampurkan budaya Jepang dengan kebudayaan Islam”. Bukan itu yang dibahas di sini.

    Melainkan, kecenderungan generasi muda masa kini yang kreatif memadukan Islam dan budaya Jepang, sebagai pilihan alternatif mereka, patut diacungi jempol.

    Bangsa ini memerlukan jalur budaya baru, dan kelihatannya, generasi muda masa kini telah melakukan langkah yang tepat.

    Oleh Shin Muhammad | Diolah kembali dari http://sora9n.wordpress.com/2008/04/11/ani-culture-dan-jilbab/

    Tinggalkan komentar Anda

    Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses