Ranah budaya pop jejepangan di Indonesia begitu dinamis. Tak hanya dalam selera genre anime yang ditonton, tetapi juga event jejepangannya. Untuk #Kaoreaders yang mendalami jejepangan sejak era 2000 hingga 2010-an, tentu sempat merasakan skena event jejepangan yang saat itu masih didominasi oleh grup band yang membawakan berbagai lagu J-Rock dan anisong popular pada masanya.

Memasuki era 2020-an, tren grup idol pun mulai naik dan akhirnya turut meramaikan berbagai event jejepangan dari level akar rumput, kampus, hingga skala besar seperti di ChibiCon yang telah menjadi salah satu event jejepangan rutin di Surabaya. Walaupun berbagai grup band masih meramaikan berbagai event jejepangan, muncul anggapan kalau tren grup band di event-event mulai tergeser oleh grup idol. Apakah benar demikian?

Menjawab pertanyaan tersebut tim KAORI Nusantara kembali menggelar panel forum group discussion (FGD) Forum Anime Indonesia bertajuk “Ke Manakah Skena Band Jejepangan Kita?” dalam event ChibiCon yang diadakan di Tunjangan Plaza 3, Surabaya pada 22 Desember 2024. Dalam panel diskusi ini, berbagai perwakilan dari grup band, grup idol, event organizer (EO), konten kreator, pengamat, serta pengunjung event jejepangan di Surabaya dan sekitarnya turut diundang dalam acara FGD ini.

fgd forum anime indonesia chibicon
Suasana FGD Forum Anime Indonesia di ChibiCon 2024 (Foto: Tanto Dhaneswara)

Dalam panel FGD Forum Anime Indonesia kali ini, berbagai hal menarik seputar serba-serbi skena band jejepangan di Jawa Timur dibahas, mulai dari pergeseran tren pengisi event dari band ke grup idol, hal-hal yang dilakukan band-band untuk tetap bertahan dan eksis hingga sekarang (terutama di era pasca-pandemi).

Perubahan Tren Bintang Tamu Tidak Perlu Dirisaukan

Topik pertama yang dibahas dalam Forum Anime Indonesia kali ini adalah berubahnya tren performer event jejepangan pada masa lalu (didominasi band) dan sekarang (didominasi grup idol dan virtual youtuber). Ada berbagai poin dan sudut pandang menarik yang disampaikan oleh para peserta FGD.

Membuka diskusi, Gandu yang menjadi personil Otaku Band dan Fenomena Paruh Baya mengungkapkan perubahan variasi pengisi acara tidak perlu dirisaukan, karena dari pihak EO memiliki sudut pandang untuk menemukan supply and demand dengan mengikuti perkembangan tren skena jejepangan pada masanya, seperti kalau tren demand-nya tidak memerlukan bintang tamu band, event yang isinya grup idol pun sah-sah saja. Menurutnya ini adalah siklus yang natural.

Salah satu member grup idol Seizaka46 juga merasakan naiknya tren grup idol akhir-akhir ini. Berdiri sejak 2022, ia melihat proporsi guest star event antara grup band dan idol pada tahun tersebut masih seimbang, dan grup idol masih belum se-menjamur sekarang. Ia merasa popularitas JKT48 yang kembali naik dan selera penikmat jejepangan yang saat ini lebih banyak yang suka idol mendorong tren tersebut, sehingga proporsinya pun menjadi 70-30% condong ke idol.

Baca Juga: Rayakan Anniversary Ke-2, Seizaka46 Rilis MV Cover W-Keyakizaka no Uta!

Hal tersebut juga diamini oleh Harun dari Kojitsu, komunitas yang mewadahi performer band di Surabaya dan sekitarnya. Menurutnya setiap tren musik memang ada masanya. Harun pun mengatakan bahwa geliat band Jepang itu “masih ada”. Kojitsu sendiri adalah komunitas yang datang dari band, oleh band, dan untuk band. Melalui Kojitsu, ia ingin mensupport teman-teman sesama musisi (termasuk idol) untuk berkarya di wilayah Jawa Timur. Baginya, komunitas punya peran besar untuk mengangkat para band ke skena musik jejepangan.

Suasana diskusi di Forum Anime Indonesia ChibiCon 2024 (Foto: Tanto Dhaneswara)

Content creator Linkinfujin mengungkapkan ia tidak memungkiri jika band sudah mulai tergusur oleh idol di event-event, bahkan ada anggapan kalau tren band tengah “mati suri”. Dari sisi EO, ia melihat kalau biaya persiapan perform untuk grup idol lebih rendah dibanding band, di mana band biasanya juga harus mempersiapkan alat musiknya masing-masing dibanding grup idol yang cukup menyiapkan lagu “minus-one”-nya saja. Meskipun begitu, menurutnya ada event-event yang masih mau menampilkan band seperti event-event IKI Fest. Di sisi lain, Linkinfujin juga menilai menurunnya tren band juga dipengaruhi oleh jarangnya kompetisi band jejepangan. Jika ada kompetisi band skala besar seperti Indonesia Cosplay Grand Prix (ICGP) untuk cosplayer, ia merasa minat para grup band bakal naik lagi.

Frekuensi Acara Makin Sering, Gimmick Idol Lebih “Menarik”

Perform grup idol Kirin Day di ChibiCon 2024 (Foto: Tanto Dhaneswara)

Salah satu pengunjung asal Kediri yang mengaku sering mengunjungi event-event di daerah tersebut berpendapat berkurangnya performer band merupakan efek samping dari semakin seringnya frekuensi penyelenggaraan event. Ia melihat setiap event yang didatangi hanya menampilkan 1-2 band dan yang tampil pun band itu-itu saja. Sang pengunjung juga melihat jumlah band dari luar kota juga tidak banyak, sehingga variasi band yang tampil pun juga ikut berkurang.

Masalah selera pengunjung juga sempat diutarakan oleh pengunjung lain bernama Christian. Menurutnya, pengunjung cenderung ingin mencari performer yang punya “gimmick” penampilan menonjol. Tren grup idol pun juga tengah naik karena mereka punya gimmick visual dan musik yang khas. Selain itu, efek pandemi juga berpengaruh ke perubahan kebiasaan pengunjung. Jika dulu pengunjung ingin menonton penampilan performernya secara live, kini mereka biasanya lebih suka menonton rekaman perform-nya juga yang biasanya didominasi dari penampilan grup-grup idol.

Waspadai “Race to the Bottom”

Perform grup band Delumiere di ChibiCon 2024 (Foto: Tanto Dhaneswara)

Dari sisi EO, Ali Takajo yang menjadi salah satu perwakilan Idoltopia (salah satu EO yang fokus menggelar event dengan penampil grup idol) mengatakan pihak EO acapkali terkendala oleh budget yang terbatas ketika ingin membuat event, sehingga mereka harus memaksimalkan budget yang ada untuk membuat event yang menarik pengunjung. Grup idol pun akhirnya menjadi pilihan karena memiliki fee atau bayaran penampilan yang lebih “terjangkau” dibanding band. Ia melihat para grup idol bisa membawa basis fans yang cukup banyak, dan mereka juga mengadakan direct selling merchandise-nya untuk meramaikan acara. Batasan budget ini juga turut mempengaruhi pihak EO dalam mencari guest star lain, seperti cosplayer untuk pengisi acara dan juri lomba cosplay.

Pertimbangan dalam mengundang performer dan kebutuhan budget juga diutarakan oleh Airin dari IKI Fest. Jika membuat event oleh pihak mal dengan budget yang cukup terbatas, ia mengakui timnya harus selektif untuk mencari performer yang “masih terjangkau” tetapi bisa membawa impact ke penonton. Untuk event yang digarap secara mandiri, tim IKI Fest masih berupaya untuk menghadirkan band.

Salah satu peserta yang merupakan performer DJ mengaku dirinya merasa oke-oke saja jika dibayar cukup dengan konsumsi oleh EO (bahkan rela tidak dibayar) demi menghibur pengunjung event. Walau memahami sudut pandang EO, Masdhito dari Vibetronic mengingatkan hal tersebut dapat menimbulkan masalah “race to the bottom”, di mana para performer berlomba-lomba untuk dibayar semurah mungkin agar bisa tampil. Hal ini menjadi krusial karena uang memang menjadi modal dan motivasi dalam berkarya, sehingga baik EO dan performer harus mencari jalan tengah agar performer bisa dapat penghasilan dari perform yang lebih baik, dan pihak EO tetap mampu mengundang bintang tamu sesuai kebutuhan.

Artikel ini berlanjut ke halaman selanjutnya.

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses