Sudah lebih dari dua minggu berlalu sejak ChibiCon 2025 digelar di Jakarta pada 2-3 Agustus 2025 lalu. Event ini menghadirkan sederet bintang tamu ternama, termasuk Shinn Uchida—manga live painter yang dikenal dengan karya-karyanya yang penuh detail dan menampilkan adegan aksi yang keren. Meski awalnya berkarier sebagai mangaka, Uchida-san memutuskan untuk banting setir menjadi seorang manga live painter pada 2015 dan telah tampil di berbagai negara, seperti Amerika Serikat dan Jerman.

Dalam wawancara ini, Uchida-san berbagi cerita tentang pengalaman pertamanya di Indonesia, proses kreatifnya, ketertarikannya terhadap genre cyberpunk yang menjadi ciri khasnya, peluang untuk kembali menjadi mangaka, dan beragam kisah menarik lainnya.

Terima kasih sudah mengunjungi Indonesia! Untuk memulai, bisakah Anda menceritakan bagaimana awalnya diundang oleh pihak ChibiCon? Seperti apa prosesnya?

Pada Januari, saya menerima surel dari panitia ChibiCon. Sepertinya ia menemukan akun Instagram saya dan akhirnya memutuskan untuk mengontak saya.

Mengingat ini adalah pertama kalinya Anda ke Indonesia, kesan apa yang Anda dapatkan? Apakah ada pengalaman yang berkesan—seperti makanan, cuaca, atau orang-orangnya?

Saya terkesan dengan betapa manisnya teh di sini, seperti teh hitam. Sebagai penyuka minuman manis, saya sangat suka teh melati manis di sini!

Saat diundang untuk menghadiri acara di berbagai negara, faktor-faktor apa saja yang biasanya Anda pertimbangkan sebelum menerima tawaran tersebut? Apakah biasanya Anda melakukan riset terlebih dahulu?

Saat saya mendapat undangan untuk tampil di sebuah acara, saya bakal cek apakah acara itu benar-benar ada dengan mencari tahu situs resminya, sudah berapa kali digelar, dan siapa saja bintang tamu yang pernah mereka undang sebelumnya. Setelah itu, kalau biaya perjalanan dan honornya cocok, saya akan terima undangannya.

Apakah ada hal yang berkesan dari pengunjung Indonesia dibandingkan negara lain?

Saya benar-benar terkesan dengan betapa banyak orang fasih berbahasa Jepang, dan betapa antusiasnya para otaku di sini. Mereka bersorak untuk para idol dalam bahasa Jepang dan bahkan melakukan tarian wotagei seperti otaku Jepang—rasanya benar-benar sama!

Debut Anda sebagai manga live painter terjadi secara cukup spontan di Design Festa, padahal sebelumnya Anda belum pernah membuat manga raksasa. Apa yang menginspirasi Anda untuk mengambil langkah tersebut—apalagi mengingat jalur karier tersebut cukup jarang dan unik?

Yap! Saya mulai menggambar manga raksasa secara mendadak di sebuah acara bernama Design Festa yang diadakan tiap tahun di Tokyo. Sebelumnya, saya sudah lama menggambar manga yang tak pernah diterbitkan karena saya bercita-cita menjadi mangaka. Saya mulai melakukan live drawing karena saya ingin banyak orang melihat manga saya—saya sama sekali tak memikirkan soal ukurannya.

Menurut Anda, apakah gaya menggambar Anda telah berubah sejak manga pertama Anda—Mindjack?

Sepertinya pendekatan saya dari dulu sampai sekarang tidak banyak berubah.

Apa perbedaan utama antara menggambar manga raksasa dan manga tradisional—dari segi penceritaan, presentasi, dan aspek teknis?

Dalam manga tradisional, cerita lebih penting daripada visualnya. Namun, dalam live drawing, yang paling penting adalah kejelasan dan efek yang memukau sehingga saya lebih fokus membuat gambar yang terlihat keren. Saya juga menghilangkan dialog dan menyusun bagian-bagiannya dengan efek suara.

Anda kerap memasukkan pengalaman pribadi ke karya Anda, seperti menjadikan mantan perusahaan Anda dan COVID-19 sebagai karakter musuh. Saat bepergian ke luar negeri, apakah Anda biasanya mengimplementasikan unsur budaya negara tersebut atau pengalaman Anda di sana ke dalam karya Anda?

Untuk acara di Jepang, saya biasanya menggambar diri saya sendiri sebagai karakter utama. Namun, di acara luar negeri, saya terkadang membuat manga yang menampilkan karakter maskot acara tersebut sebagai protagonis. Mengingat banyak banyak acara di luar negeri juga berfokus memperkenalkan budaya Jepang, saya kadang memasukkan elemen bertema Jepang, seperti Gunung Fuji dan kuil Shinto.

Apakah Anda memiliki kebiasaan atau ritual tertentu sebelum atau saat tampil—seperti mendengarkan playlist lagu favorit, atau selalu menggunakan spidol yang sama?

Saya tak melakukan apapun yang spesial. Saya biasanya langsung saja mulai menggambar!

shinn uchida chibicon 2025
Shinn Uchida di ChibiCon 2025 Jakarta (Foto: Tanto D)

Saat membuat manga raksasa di suatu acara, Anda biasanya menggambarnya selama beberapa hari, seperti dua hari di ChibiCon. Itu berarti ada pengunjung yang mungkin hanya hadir di hari pertama dan tak dapat melihat hasil akhirnya. Bagaimana Anda memastikan agar karya yang belum selesai tetap terasa memuaskan bagi mereka yang tak melihat versi finalnya?

Saya menyusun manganya sedemikian rupa sehingga saya menggambar karakter utama yang berukuran besar terlebih dahulu. Dulu, saya biasanya menggambar mata karakter utama akhir-akhir, tetapi saya menyadari banyak orang yang hanya melihat versi yang belum selesai dan tanpa mata. Jadi, saya kini menyelesaikan sang karakter utama terlebih dahulu sebelum lanjut ke panel berikutnya.

Dengan pengalaman dan kemampuan yang Anda miliki sekarang, pernahkah terpikir untuk kembali menjadi mangaka? Mungkin dalam bentuk serial pendek yang diterbitkan di sosial media?

Sejujurnya saya selalu ingin membuat manga, tetapi saya jarang menggambar secara sungguh-sungguh. Alih-alih menerbitkan secara online, saya lebih ingin menerbitkan sendiri dalam bentuk cetak. Saya masih bermimpi untuk bisa menerbitkan secara komersial—lengkap dengan barcode di sampulnya—suatu hari nanti.

Karya Anda kerap menampilkan adegan aksi yang intens. Apakah ada adegan aksi spesifik dari anime atau manga yang menjadi favorit Anda?

Saya harus memilih adegan pertarungan antara Cho-san (Chojiro Uchida) dan Ecchan (Etsuko) di klimaks manga Domu karya Katsuhiro Otomo.

Karya Anda sering berlatar dunia cyberpunk dengan inspirasi dari judul-judul cyberpunk, seperti Ghost in the Shell, Patlabor, dan tentunya Akira dari idola Anda—Katsuhiro Otomo. Kenapa Anda sangat tertarik dengan tema cyberpunk?

Saya tertarik dengan elemen dinding-dinding retak, mesin-mesin yang dililit kabel, dan pemandangan nostalgik yang mengingatkan pada suasana Tokyo lama.

Pernahkah Anda bereksperimen dengan latar yang berbeda di luar dunia cyberpunk—misalnya dark medieval fantasy ala Game of Thrones atau dunia pasca-apokaliptik ala Nausicaa?

Saya belum benar-benar mencobanya, tetapi sesekali saya membuat ilustrasi yang memadukan elemen cyber dan fantasi yang mungkin terinspirasi dari Magic Knight Rayearth.

Selain Anda dan mendiang Kim Jung-Gi, saya pribadi tidak tahu manga live painter lain. Apakah ada seniman lain di bidang ini yang Anda kagumi?

Di Jepang, Katsuya Terada terkenal berkat live drawing-nya, dan saya sangat menghormatinya. Ia juga mengenal Kim Jung-Gi.

Pertanyaan terakhir, apakah Anda tertarik untuk kembali ke Indonesia di masa depan? Kami akan dengan senang hati menyambut Anda lagi!

ChibiCon penuh dengan rasa cinta akan budaya pop culture Jepang dan benar-benar merupakan acara yang luar biasa! Saya ingin sekali mengunjungi Indonesia lagi!

KAORI Newsline | Wawancara oleh Rakha Alif | Disunting oleh Tanto D

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses