Cerpen: The Paper Birds, by Arushi Dan
Ronald dan Rossy adalah teman kecil. Iya, seperti kebanyakan anak umur lima tahun : Mereka bermain bersama, bercanda bersama, melakukan hal menyenangkan yang dipenuhi fantasi. Mereka tetangga dekat. Keduanya anak tunggal. Tidak heran kalau mereka berdua merasa sebagai kakak adik. Tidak jarang ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah menyangka mereka adalah kakak-adik.
Suatu hari Ronald menjenguk Rossy yang sakit. Ia demam. Rossy terlihat lemas dan tidak seceria biasanya. Melihat Rossy seperti itu, Ronald mengajaknya ke taman bermain tempat biasa mereka singgah sepulang sekolah.
Sesampainya disana, Rossy hanya terduduk di ayunan memandangi bakal pohon pinus yang baru minggu lalu ditanam. Ronald yang inisiatif langsung membuka tas ranselnya dan mengambil dua buah burung kertas. Hasil pelajaran origami pagi tadi.
“Ini, Rossy..” kata Ron seraya membuka tangan Rossy dan meletakkan burung kertas itu.
“Mmh..” Rossy sedikit terhibur dengan kejutan Ron. Dibawanya burung kertas itu menuju pohon pinus dan menaruhnya di salah satu ranting.
Ron mendekati Rossy yang dengan sabar menata burung kertas itu. Ia memberi selembar kertas lipat dan mengajari Rossy yang melewatkan pelajaran origami.
Dari hari itu, setiap sepulang sekolah, mereka berdua akan menghias pohon pinus mini itu dengan burung berwarna warni. Mereka sangat bahagia melihat pohon yang begitu indah.
Hari berjalan semakin cepat. Mereka berdua tumbuh menjadi remaja yang mencintai keindahan kampung kelahirannya. Rossy yang sudah menjadi remaja SMA ini bergabung dengan klub yang bertugas menghijaukan lahan kosong. Ia mencintai alam. Rossy juga terlihat cerdas dengan kacamatanya. Sementara Ron, ia lebih mengikuti jejak ayahnya yang seorang pengusaha periklanan. Ia disiapkan menjadi pebisnis yang handal untuk meneruskan kerajaan ayahnya.
Suatu ketika, perayaan setengah abad berdirinya kampung halaman dirayakan secara meriah. Ron memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya setelah lama berkuliah di luar kota. Ia rindu pada kampungnya. Begitu juga dengan Rossy. Selama kuliah, Ron hanya bisa mengirim surat dan menunggu balasannya tiga hari kemudian. Ia merindukan wajah manis Rossy yang selalu ada bersamanya selama ini.
Sementara itu, Rossy yang bertugas menjadi ketua penyelenggara perayaan dikejutkan oleh sosok Ron yang turun dari bus. Mereka langsung melepas kerinduan. Dipeluknya sahabat masa kecilnya itu. Rossy menangis terharu. Setelah bertahun-tahun terpisah jauh, mereka bertemu kembali..
Mereka berdua bekerja sama dengan baik. Rossy mengandalkan kemahiran Ron dalam mengiklankan perayaan itu. Dan Ron mempercayakan kemeriahan perayaan kepada Rossy. Rencana mereka berdua sukses. Banyak pendatang dari luar kota yang mampir untuk ikut memeriahkan kampung kecil yang tentram itu. Diawali dengan tarian-tarian dan diakhiri dengan pesta bakar-bakar. Rossy memang tidak suka kembang api. Ia tidak ingin udara di sini tercemar. Dan Ron menghormati keputusannya. Ia rindu keadaan saat masa kecilnya di kampung ini..
“Ron..” kata Rossy sambil memeluknya dibawah pohon pinus. “Berjanjilah kau akan kembali.. Untukku..” ia tersenyum dan semakin mengeratkan pelukannya. Ia tidak ingin Ron meninggalkan kenangan itu selama ini.
Ron membalas pelukannya seraya berkata, “Tidak..” ia tersenyum sambil melepaskan pelukan Rossy. “Tidak mungkin aku meninggalkanmu, Rossy..”
Rossy yang bahagia mendengar balasan Ron langsung menghempaskan tubuhnya dan kembali memeluk Ron. Mereka saling berjanji akan selalu ada untuk satu sama lain..
Tahun berganti dan semua berubah. Kampung kecil ini didatangi banyak imigran dari luar pulau. Tidak ada lagi gubuk-gubuk kumuh dan berantakan. Semuanya tersusun rapi. Enak dipandang.
Suara riuh dari anak SD yang berhamburan langsung terdengar begitu bel berbunyi. Mamaa~! seorang gadis kecil berlari saat melihat Rossy menjemputnya. Keadaan sedang hujan. Ia langsung berlindung dibawah payung pink yang Rossy bawa.
“Gimana sekolahnya, sayang?” tanya Rossy sambil menemaninya berjalan.
“Ngg.. Kami belajar Ogirami, Mama!”
“Origami, sayang. Hihihi. Anak mama pinter!” ujarnya seraya mengelus lembut rambut gadis cilik itu.
Iya, begitulah. Ron dan Rossy dikaruniai dua anak. Anak keduanya masih berumur tiga bulan. Kehidupan mereka benar-benar seperti dambaan keluarga lain. Berkecukupan namun tetap sederhana. Seperti impian masa kecilnya, Ron menjadi penerus usaha ayahnya. Ia sering mengajak istri dan anaknya berlibur keluar negeri untuk urusan bisnis. Rossy sendiri awalnya ingin menjadi ibu rumah tangga, namun hatinya tergerak dan bekerja untuk pemerintahan di divisi lingkungan. Tapi ia memutuskan untuk berhenti setelah mengandung anak pertamanya. Mereka adalah keluarga yang sangat bahagia.
Seperti kisah cinta yang sering kita dengar. Suatu hari Ron harus dinas keluar negeri. Ini adalah urusan penting yang menyangkut masa depan bisnis raksasanya. Biasanya ia akan hadir bersama Ayahnya yang berperan sebagai penasehat. Namun Ayahnya telah meninggal. Dan beban seluruh perusahaan tertumpuk di pundaknya. Ron ingin Rossy dan kedua anaknya tetap dirumah selagi menunggunya pulang. Ia memberikan kecupan kepada kedua anaknya. Memeluk Rossy dengan sangat erat dan ia pun pergi meninggalkan Istri dan kedua anak tercintanya..
Suatu malam beberapa bulan setelah Ron pergi, Lily si gadis kecil yang kini sudah memasuki SMP mendatangi Ibunya yang terduduk lemas di ruang tamu. Mama.. Kapan Papa pulang? tanyanya seraya duduk di samping Rossy.
Rossy tersenyum dan memegang tangan Lily. Sayang.. Papa lagi berjuang keras untuk perusahaannya. Itu untuk kita juga. Sini sayang.. Rossy melepas kacamatanya dan membiarkan gadis ini tidur di pangkuannya. Ia mengelus rambut panjang anak tercintanya. Perasaan memang tidak bisa dibohongi. Rossy sedih melihat Ron yang tidak kunjung pulang. Ia punya firasat yang membuatnya bermimpi buruk tiap malam. Tapi demi cintanya, ia rela menutup firasat itu rapat-rapat dan terus menghibur diri walau terasa perih..
Sementara itu, berkilo-kilo jauhnya dari kampung halaman. Ron terhanyut dengan kehidupan kampung barunya itu : Apartemen mewah dilantai puncak, bermandikan uang dan tumpukan harta, wanita-wanita yang rela kau kencani hanya demi uangmu. Semua itu menyihir Ron.. Pola pikir pebisnis korup sudah meracuni benaknya. Ron hilang arah dan ia tidak menyadari hal itu..
Semua kebahagiaan semu itu berlangsung hingga suatu hari ia dijebloskan ke ruangan kecil berjeruji besi. Ron dipenjara karena skandal perusahaan. Ia membohongi laporan keuangan dan membuat investor memercayakan uangnya kepada Ron. Semuanya hancur. Perusahaannya tersita dan yang tersisa hanya satu.. Satu memori indah tentang seorang gadis manis bernama Rossy.. Hanya itu yang ia punya..
“…Rossyku tersayang.. Maaf telah membuatmu menungguku selama ini. Maaf.. Aku bukan suami yang baik.. Maafkan aku.. Rossy cintaku, kau boleh berhenti menungguku. Tapi jika engkau masih mau aku kembali padamu, kau bisa tunjukkan dengan menaruh satu burung kertas di pohon pinus.. Jika nanti aku tidak melihat burung kertas itu, tak apa. Aku mengerti perasaanmu, sayangku. Maka aku akan merantau entah kemana membangun semuanya dari awal…”
Ron mengirimkan surat itu ke alamat rumahnya. Hari berganti tetapi semua terasa lambat. Ia belum menerima surat balasan dari istrinya. Ia gelisah. Bahkan ia meragukan apakah suratnya sudah ditangan Rossy.. Ia semakin gelisah saat hari dimana hukumannya berakhir tiba.. Ia akhirnya bebas..
Bis yang membawa Ron pun berangkat.. Mengangkut Ron bersama kegelisahan yang memberatkan napasnya.. Semakin dekat ke kampung halaman ia semakin gelisah.. Jantungnya semakin berdebar-debar.. Ia seperti diantara hidup dan mati.. Bahkan lebih mendebarkan ketimbang palu hakim yang memutuskan ia bersalah beberapa tahun silam.. Keringat dingin membuat kemejanya basah kuyup.. Tak henti-hentinya Ron mengusap dahinya dan meminum air mineral untuk sekedar menenangkan diri.
Bus pun berhenti tepat di halte. Dengan langkah gugup, Ron melangkahkan kakinya keluar dari bus. Ia tidak berani melihat ke arah depan. Ia tahu pohon pinus itu telah bertumbuh besar. Ia bingung harus bagaimana.. Tanpa sadar, ia arahkan langkah kakinya membelakangi pohon itu dan menuju halte selanjutnya.. Ia yakin Rossy dan anak-anaknya tidak akan pernah menerimanya lagi..
Tapi sesuatu menghentikan langkahnya.. Ia balikkan tubuhnya yang letih itu dan melihat ke arah pohon pinus yang telah tumbuh sangat tinggi dan rimbun.. Seketika itu ia berlutut dan menangis..
Tetes demi tetes membasahi wajahnya..
Ia tidak melihat sebuah burung kertas..
Ia tidak melihat sebuah…
Melainkan ada seribu burung kertas yang menghiasi pohon itu! Tertata dengan rapi. Membuat daun hijaunya beraksen pelangi. Seketika itu, angin kencang terhembus dan menerbangkan burung-burung kertas itu. Langit begitu indah.. Ron teringat masa kecilnya saat ia mengajak Rossy ke taman.. Ia ingat semuanya..
Rossy muncul dari belakang dan memeluknya.. Sebuah pelukan penuh kasih sayang yang sudah lama ia rindukan.. “Tidak mungkin aku meninggalkanmu, Ron..” Lily dan adiknya muncul dan langsung memeluk Ron. Mereka berempat ditemani burung-burung kertas yang indah.. Begitu sempurna..
Keluarga kecil ini pun kembali.. Membangun semuanya dari awal.. Tidak ada masalah.. Selama mereka hidup dengan kasih sayang…
*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka. Tautan cerita : The Paper Birds






