Hideo Shimizu, pria berusia 95 tahun asal Nagano, Jepang menjadi sorotan setelah meminta maaf di hadapan monumen peringatan di Harbin, Tiongkok, atas keterlibatannya di Unit 731. Permintaan maaf itu disiarkan luas oleh media Tiongkok, namun justru menuai hujatan di Jepang, dengan banyak warganet Jepang menyebutnya sebagai “orang tua pikun” atau “pengganggu.”
Kenangan Menghantui Seumur Hidup
Unit 731 dikenal sebagai unit perang biologis militer Jepang pada era Perang Dunia II yang melakukan eksperimen mengerikan terhadap manusia. Shimizu, yang saat itu baru berusia 14 tahun, bergabung tanpa mengetahui tujuannya. Selama enam bulan di Harbin, ia menyaksikan pemandangan mengerikan di “ruang spesimen” yang penuh toples berisi organ tubuh manusia, termasuk jasad seorang perempuan hamil dengan janin yang terlihat jelas. Kenangan itu membuatnya menangis dan dihantui mimpi buruk selama berhari-hari.

Diam Selama Puluhan Tahun
Setelah perang, Shimizu menjalani hidup sebagai arsitek dan membangun keluarga, menyembunyikan masa lalunya bahkan dari orang terdekat. Baru pada 2015, 70 tahun setelah perang berakhir, ia mengaku kepada istrinya setelah menghadiri pameran tentang unit tersebut. Sejak itu, ia mulai bercerita di berbagai kesempatan, meskipun harus menghadapi serangan daring dari orang-orang yang menyangkal kejahatan tersebut.
Unit 731: Sebuah Sejarah Kelam Kejahatan Perang Jepang yang Kerapkali Ditutupi
Unit 731 merupakan sebuah unit dalam militer Jepang di wilayah pendudukan Manchuria pada tahun 1935–1945, yang bertanggung jawab atas praktek-praktek ilegal eksperimen manusia hingga senjata kimia. Tindak kejahatan yang dilakukan oleh unit tersebut tidak terbatas hanya pada eksperimental manusia saja. Namun mereka juga diketahui dengan sengaja meracuni sumber air, bahkan dengan sengaja menyebarkan wabah penyakit ke kota-kota setempat. Selama tahun 1936 hingga 1945, setidaknya unit tersebut diketahui telah membunuh 14000 jiwa, baik itu tawanan perang maupun penduduk setempat.
Ironisnya bahkan setelah Jepang kalah perang, keberadaan unit tersebut terkesan terus menerus ditutupi dan disangkal. Bahkan pasukan pendudukan Amerika Serikat yang menduduki Jepang paska Perang Dunia 2 di bawah kepemimpinan Douglas MacArthur memberikan impunitas kepada para penjahat-penjahat perang yang mengelola unit tersebut, dengan imbalan pertukaran informasi mengenai proyek-proyek senjata kimia. Selama bertahun-tahun kesaksian korban diabaikan begitu saja, bahkan malah dianggap sebagai propaganda Komunis. Nama Unit 731 bahkan hanya sekali saja disebut-sebut dalam Pengadilan Kejahatan Perang Tokyo.
Sejumlah pejabat-pejabat tinggi dari Unit 731 bukan saja mendapatkan impunitas, namun banyak yang menduduki posisi-posisi terhormat di masyarakat Jepang paska perang. Ada yang menjadi direktur Asosiasi Medis Jepang, ada yang menjadi bos di sebuah perusahaan farmasi ternama hingga universitas ternama di Jepang, bahkan ada yang menjadi gubernur Tokyo. Pemerintah Jepang sendiri selama bertahun-tahun terus menyangkal keberadaan unit tersebut, sampai akhirnya muncullah kesaksian dari salah seorang mantan petugas di Unit 731, Yoshio Shinozuka.

Pada tahun 1997, Shinozuka yang direkrut oleh Unit 731 di umur 16 tahun memberikan kesaksian atas keterlibatannya dalam mengembangbiakkan wabah penyakit. Ia bahkan turut membasuh tubuh korban wabah yang telah menghitam dan sekarat, untuk kemudian dibedah tanpa obat bius. Atas kesaksiannya ini, pengadilan kota Tokyo pada tahun 2002 akhirnya mengakui keberadaan Unit 731 dan aktivitasnya dalam tindakan-tindakan ilegal dan tidak manusiawi, serta merenggut banyak korban jiwa. Pada tahun 2018 lalu, Arsip Nasional Jepang akhirnya memublikasikan setidaknya 3607 nama-nama yang terlibat dalam Unit 731.
Perjuangan Melawan Penyangkalan Sejarah
Nama Hideo Shimizu sendiri tercatat dalam daftar 3607 anggota Unit 731 yang dirilis Arsip Nasional Jepang pada 2018. Meski pemerintah Jepang kini mengakui keberadaan Unit 731, mereka tidak secara resmi mengonfirmasi detail kegiatan, dengan alasan kurangnya bukti. Shimizu khawatir penyangkalan yang terus diulang akan menghapus kebenaran sejarah. “Jika kalian mengatakan sesuatu tidak pernah terjadi sebanyak 100 kali, orang akan percaya itu memang tidak pernah terjadi,” ujarnya.
KAORI Newsline | Sumber










