Sebuah keputusan pengadilan di Tokyo baru-baru ini menarik perhatian publik dan memicu perdebatan luas soal etika berbahasa dalam kehidupan di Jepang. Pengadilan distrik Tokyo memutuskan bahwa seorang pria harus membayar ganti rugi sebesar 220 ribu yen kepada rekan kerjanya setelah sering memanggilnya dengan akhiran “chan” di tempat kerja. Dalam budaya Jepang, “chan” biasanya digunakan untuk anak-anak, teman dekat, atau orang yang dianggap imut—bukan untuk kolega di lingkungan profesional.
Kasus Bermula dari Lingkungan Kerja
Kasus ini melibatkan karyawan perusahaan logistik Sagawa Express. Perempuan berusia 40-an itu menggugat rekan laki-lakinya karena merasa direndahkan oleh perlakuan dan ucapannya. Selain menggunakan “chan”, pria tersebut juga kerap melontarkan komentar seperti “kamu imut”, “aku bisa lihat pakaian dalammu”, dan “badanmu bagus”. Akibat perilaku itu, korban mengalami depresi dan akhirnya mengundurkan diri dari pekerjaannya.
Pengadilan menilai tindakan tersebut sebagai bagian dari pola pelecehan yang tidak pantas, termasuk penggunaan bahasa yang memperlakukan korban secara tidak profesional.
Dampak dan Preseden Baru di Dunia Kerja
Putusan ini menegaskan bahwa dalam kehidupan di Jepang, bentuk sapaan yang dianggap akrab sekalipun bisa menimbulkan pelanggaran etika jika digunakan dalam konteks yang salah. Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang sebelumnya telah memperingatkan bahwa penggunaan “chan” di tempat kerja bisa dianggap sebagai pelecehan, tergantung pada situasi dan hubungan antarpekerja. Menariknya, perusahaan Sagawa Express sendiri juga sudah lebih dulu mencapai kesepakatan damai dengan korban pada Februari 2025, dengan membayar kompensasi sebesar 700 ribu yen.
Reaksi Publik dan Perubahan Budaya
Ahli pencegahan pelecehan, Yuko Yamafuji, menjelaskan bahwa kasus ini bukan hanya soal kata “chan”, melainkan konteks dan perilaku yang menyertainya. Menurutnya, bahkan niat baik untuk menciptakan suasana akrab bisa dianggap melanggar batas profesional jika dilakukan tanpa persetujuan. Beberapa pekerja di distrik Shinbashi, Tokyo, mengaku kini lebih memilih menggunakan “san”, sapaan netral yang umum dalam dunia kerja Jepang. Dalam kehidupan di Jepang, perubahan ini menunjukkan meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya bahasa yang setara dan menghormati batas pribadi di tempat kerja.
KAORI Newsline | Sumber





