The Next Miyazaki”: Mempertanyakan Keberlanjutan Ghibli

Seiring dengan bertambahnya usia sutradara-sutradara Ghibli, orang-orang pun senang berbincang mengenai siapa sutradara muda yang akan menggantikan mereka dalam menghasilkan film-film animasi berkualitas tinggi. Bahkan sebelum Miyazaki menyatakan pensiun, sutradara-sutradara seperti Makoto Shinkai atau Mamoru Hosoda sering digadang-gadang sebagai the Next Miyazaki. Para tokoh tersebut biasanya menolak sebutan itu, entah karena mereka merasa begitu hormatnya pada Miyazaki dan merasa belum pantas disandingkan dengannya, atau karena mereka lebih ingin dikenal dengan nama dan karyanya sendiri daripada diperlakukan sebagai fotokopian Miyazaki.

Hayao Miyazaki Mk. 2?
Hayao Miyazaki Mk. 2?

Yang menarik untuk diperhatikan, tokoh-tokoh yang sering dikatakan sebagai the Next Miyazaki itu justru tidak bekerja di Ghibli. Sementara di Ghibli sendiri, setelah Miyazaki menyatakan pensiun dari membuat film layar lebar dan film When Marnie was There (2014) ditayangkan, Toshio Suzuki yang merupakan salah satu pendiri Ghibli menyatakan Ghibli akan “berhenti sementara” dari pembuatan film animasi untuk memikirkan kembali masa depannya setelah ditinggal Miyazaki dan berbenah. Ghibli nampak seperti tidak bisa menghasilkan sendiri talenta muda yang dapat menyamai para sutradara veteran. Film-film Ghibli yang disutradarai oleh selain Miyazaki atau Takahata juga tidak selaku film mereka berdua. Mengapa begitu?

Perlu dipahami bahwa sistem Studio Ghibli bersifat hirarkis. Para sutradara veteran adalah sosok maestro yang berkuasa dan karismatis, sementara animator muda hanya melayani sang maestro untuk mewujudkan karya yang sesuai dengan visi sang maestro. Sistem seperti ini memang tidak kondusif bagi animator muda untuk mengembangkan gayanya sendiri dan menjadi sutradara kenamaan baru, karena semua harus mengikuti gaya sang veteran. Mamoru Oshii bahkan menganggap sistem ini totaliter, menghambat inovasi, eksperimen, dan kemandirian. Ironisnya, animator-animator yang mengerjakan anime dengan limited animation di luar Ghibli justru lebih memiliki keleluasaan untuk bereksperimen dan menciptakan gaya khas masing-masing (penjelasan lebih lanjutnya bisa dibaca di sini).

Saat masih di Toei Animation, Mamoru Hosoda sendiri pernah ditarik oleh Studio Ghibli untuk menjadi sutradara film Howl’s Moving Castle. Namun ia keluar dari proyek tersebut karena ide-idenya ditolak oleh atasan di Ghibli, sehingga Miyazaki kemudian mengambil alih kursi sutradaranya. Kembali ke Toei, Hosoda kemudian curhat mengenai pengalamannya di Ghibli melalui film One Piece: Baron Omatsuri and the Secret Island (200). Sementara animator Koji Morimoto yang pernah bekerja di Ghibli dalam pembuatan Kiki’s Delivery Service (1989) menggambarkan Miyazaki seperti seorang kaisar. “Dia punya gaya sendiri dan semua orang di sana mematuhinya.” Meski ia mengakui kekhasan Miyazaki, Morimoto sendiri ingin menjadi sosok yang berbeda darinya, yang lebih terbuka untuk menyertakan ide-ide dari orang lain dalam mengerjakan karyanya.

Begitulah bagaimana Studio Ghibli dikonstruksikan sebagai suatu studio yang khas dalam ranah animasi Jepang. Dengan berlandaskan visi dan idealisme kreatornya mengenai hakikat seni animasi, visi dan idealisme tersebut berusaha diwujudkan melalui sistem yang hirarkis. Di satu sisi hal itu menunjukkan suatu kesetiaan kepada idealisme artistik yang dianut, namun di sisi lain ia menjadi terlalu konservatif. Bisakah sistem seperti ini bertahan dalam jangka panjang? Ataukah nantinya Ghibli perlu melakukan adaptasi-adaptasi tertentu untuk melanjutkan menelurkan karya segar?

Referensi

———- (2005). “Makoto Shinkai – The Place Promised in Our Early Days Director.” activeAnime. http://activeanime.com/html/2005/09/27/makoto-shinkai-the-place-promised-in-our-early-days-director/

Aoki, Deb, dan Evan Minto (2015). “Interview: Koji Morimoto.” Anime News Network. www.animenewsnetwork.com/interview/2015-09-29/koji-morimoto/.93504.

Huff, Ryan (2014). “Interview with Wolf Children Director Mamoru Hosoda.” www.madman.com.au/news/interview-with-wolf-children-director-mamoru-hosoda/

Lamarre, Thomas (2009). The Anime Machine. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Toole, Michael (2015). “The Mike Toole Show: Club Hosoda.” Anime News Network. www.animenewsnetwork.com/the-mike-toole-show/2015-04-19/.87281

Widi, Yoza (2015). “Bongkar Salah Kaprah Mengenai Industri Anime Bagian 1: Pendahuluan.” KAORI Nusantara.

Widi, Yoza (2015). “Bongkar Salah Kaprah Mengenai Industri Anime Bagian 2: Frame Banyak = Animasi Lebih Bagus?” KAORI Nusantara.

Oleh Halimun Muhammad | Penulis adalah pengamat sekaligus penikmat budaya pop kontemporer Jepang yang telah menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menikmati sekaligus mencoba memotret kebudayaan anime dari perspektif akademis

2 KOMENTAR

  1. Ya Ghibli perlu merencanakan ke depan, dan berinovasi tapi dengan mempertahankan kualitas. Perubahan itu penting, kalau tidak membuka diri Ghibli akan berakhir menjadi sebuah legenda karena krisis penerus

Tinggalkan komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses