Program Pemerintah
Untuk membangun citra negara (national branding) dan memperoleh keuntungan bisnis, Pemerintah Jepang mulai ikut mengambil peran dalam menyebarkan budaya populer negaranya dengan program yang membawa nama “Cool Japan,” dan menggandeng aktor-aktor bisnis tertentu ke dalamnya (Yudoprakoso, 2013). Di sini kita dapat mengamati, misalnya, usaha-usaha apa saja yang telah mendapatkan dana dari program Cool Japan Fund, untuk apa dana itu digunakan, dan apa hasilnya. Namun ada baiknya agar analisis mengenai program pemerintah ini bisa lebih dalam lagi.

Pertama, telaah kembali mengapa muncul minat di kalangan pembuat kebijakan Jepang untuk ikut terlibat dalam penyebaran budaya populer Jepang. Perlu diperhitungkan faktor-faktor ekonomi, politik dan sosial-budaya apa saja yang ikut bermain di sini. Bagaimana kondisi ekonomi Jepang dalam konteks kondisi ekonomi dunia saat ini, dan bagaimana perkembangan bisnis budaya populer dalam konteks tersebut? Bagaimana persepsi negara-negara yang berhubungan dengan Jepang terhadap Jepang dan politik luar negerinya? Apa kepentingan pemerintah Jepang jika kita melihat lembaga-lembaga negara yang dilibatkan seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri? Apa kepentingan dari pelaku-pelaku bisnis yang terlibat dan keuntungan apa yang mereka peroleh? Bagaimana budaya pembuatan kebijakan dan budaya berbisnis orang Jepang berpengaruh terhadap pelaksanaan program-program ini?
 Kemudian, perlu diperhatikan apa implikasi dari campur tangan pemerintah dalam mempromosikan budaya populer negaranya ini. Apakah program membangun citra negara melalui budaya populer ini kemudian menjadi landasan bagi pemerintah untuk menertibkan konten-konten yang dianggap tidak pantas atau menjijikkan untuk diketahui oleh bangsa asing, seperti misalnya komik lolicon? Apakah demi memaksimalkan keuntungan dari konten-konten budaya populer kemudian kegiatan-kegiatan penggemar yang dianggap melanggar hak cipta akan ditindak? Kendali pemerintah dalam pengembangan bidang budaya populer seperti ini bisa saja menjadi ajang pendisiplinan konsumen untuk keuntungan pemangku kepentingan tertentu. Memahami kepentingan di balik program pemerintah dan implikasinya itu akan membantu untuk memahami mengapa muncul kritik dan ketidakpuasan terhadap program Cool Japan ini.
Kemudian, perlu diperhatikan apa implikasi dari campur tangan pemerintah dalam mempromosikan budaya populer negaranya ini. Apakah program membangun citra negara melalui budaya populer ini kemudian menjadi landasan bagi pemerintah untuk menertibkan konten-konten yang dianggap tidak pantas atau menjijikkan untuk diketahui oleh bangsa asing, seperti misalnya komik lolicon? Apakah demi memaksimalkan keuntungan dari konten-konten budaya populer kemudian kegiatan-kegiatan penggemar yang dianggap melanggar hak cipta akan ditindak? Kendali pemerintah dalam pengembangan bidang budaya populer seperti ini bisa saja menjadi ajang pendisiplinan konsumen untuk keuntungan pemangku kepentingan tertentu. Memahami kepentingan di balik program pemerintah dan implikasinya itu akan membantu untuk memahami mengapa muncul kritik dan ketidakpuasan terhadap program Cool Japan ini.
Kembali ke Titik Awal
Di tengah berbagai perkembangan yang terjadi, ada baiknya untuk melihat kembali ke awal-awal munculnya wacana Cool Japan juga. Artikel McGray perlu dilihat dengan konteks latar belakang kemunculannya juga. Perhatikan kembali, siapakah McGray? Dari mana ia berasal? Kapan ia menulis artikel itu? Dari situ bisa direkonstruksi kembali seperti apa McGray mengamati persebaran budaya populer Jepang saat itu sampai ia merasa perlu untuk menganalisis dan menulis tentangnya.
Demikianlah berbagai poin dan pertanyaan kritis yang dapat dipertimbangkan untuk ditelaah dalam bahasan mengenai Cool Japan. Semoga pertanyaan-pertanyaan yang dirangkum di sini dapat membantu rekan-rekan yang ingin membahas mengenai Cool Japan dalam menentukan arah bahasan yang sesuai. Rangkuman ini telah diusahakan agar bisa sekomprehensif mungkin. Namun tetap saja mungkin ada hal-hal yang luput diangkat yang sebenarnya penting. Anda dapat berpartisipasi untuk ikut menambahkan hal-hal yang mungkin terlewat melalui kolom komentar.
Referensi
Galbraith, Patrick (2011), “Otaku Consumers,” dalam Parissa Haghirian (editor), Japanese Consumer Dynamics, New York: Palgrave Macmillan, hlm. 146-161.
Galbraith, Patrick (2014), The Moe Manifesto: An Insider’s Look at the Worlds of Manga, Anime, and Gaming, Tuttle Publishing.
Grunebaum, Dan (2012), “Is Japan losing its cool?” dalam The Christian Science Monitor, http://www.csmonitor.com/World/Asia-Pacific/2012/1208/Is-Japan-losing-its-cool/(page)/2
McGray, Douglas (2002), “Japan’s Gross National Cool,” dalam Foreign Policy, http://foreignpolicy.com/2009/11/11/japans-gross-national-cool/
Ōtsuka, Eiji (2015). “Foreword: Otaku Culture as ‘Conversion Literature’,” dalam Patrick Galbraith, Thiam-Huat Kam, dan Björn-Ole Kamm (editor), Debating Otaku in Contemporary Japan: Historical Perspectives and New Horizons, Bloomsbury Publishing, hlm. xiii-xxix.
Lamarre, Thomas (2004). “Otaku Movement,” dalam EnterText 4, No. 1, hlm. 151-187.
Lamarre, Thomas (2013). “Cool, Creepy, Moe: Otaku Fictions, Discourses, and Policies,” dalam Diversité urbaine Vol. 13, No. 1, hlm. 131-152.
Snow, Nancy (2013), “Uncool Japan: Japan’s Gross National Propaganda,” dalam Metropolis, http://metropolis.co.jp/features/the-last-word/uncool-japan/
Yudoprakoso, Bagus (2013), Analisis Cool Japan dalam Politik dan Ekonomi Luar Negeri Jepang selama Periode 2002-2013, skripsi di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Indonesia.
Oleh Halimun Muhammad | Penulis adalah pengamat sekaligus penikmat budaya pop kontemporer Jepang yang telah menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menikmati sekaligus mencoba memotret kebudayaan anime dari perspektif akademis
 
 









