KAORI Newsline mulai minggu ini akan memuat karya-karya kreasi pengguna KAORI forum, baik gambar, cerita, maupun proyek lain. Mari nikmati dan apresiasi!
Sebagai pemula, berikut ini cerpen bertajuk “VCD Anime Doni” karya Shin Muhammad. Anda bisa mengecek topik dan mengomentarinya di KAORI forum.
NB: Seluruh materi adalah hak cipta masing-masing penulis.
——————–
(gambar: Padangtoday)
“Gue nggak tahu apa yang ada di pikiran temen-temen gue. Kayaknya, ngeliat cewek kartun itu hal yang menjijikan.”
Zaman boleh berganti. Soe Hok Gie mungkin udah mati membawa idealismenya. Tapi satu hal yang bisa kupikirkan saat mengayuh sepeda di sore hari, yaitu lagu-lagunya tante Kotoko.
Mengayuh sepeda di sore hari yang sejuk, kukelilingi kompleks di sekitar rumah. Tidak ada uang yang kubawa, jadi aku gak bisa menikmati es krim sore, gorengan, atau batagor seperti anak-anak yang lain.
Kira-kira pukul lima sore. Masih dalam kondisi tidak punya uang, kukayuh sepedaku sambil mengelilingi kompleks.
Tidak ada yang aneh di sore ini. Masih ada pembantu yang menggendong bayi di sore hari. Anak-anak yang sebagian bermain layangan, tapi sebagian asyik bermain PlayStation. Ada juga yang asyik bermain futsal di lapangan kompleks.
Cuma, kok tidak ada yang dekat ya. Rasanya begitu ramai. Tapi aku sendiri. Tenggelam dalam melankonli sendiri. Ramainya situasi pun tidak membuat aku merasa bahagia. Sendiri dalam keramaian.
Sembari terus mengayuh sepedaku, aku bergegas pulang menuju ke rumah. Mau nonton lawakan sore di TV.
“Sebelum istilah alay dikenal luas, gue udah akrab pake internet. Ngobrol di forum-forum, main RP, bahkan download lagu-lagu MP3 sebelum tukang pulsa mulai jualan yang namanya isi MMC sampai pol cukup dengan bayar 5 ribu aja. “
Untunglah hari ini tante pulang cepat. Biasanya, kesempatan pakai laptop itu cuma di akhir pekan, atau malam sekali. Atau sebelum aku sholat subuh di masjid dekat rumah.
Rumah ini bukan rumahku. Aku tidak punya rumah sejak aku lulus SD. Orang tuaku hidup nomaden. Luntang lantung kesana-kemari.
Untuk jajan di sekolah, aku cuma dapat uang seadanya dari tante dan omku. Kadang seribu rupiah. Kadang dua ribu rupiah. Kalau lagi apes, tidak jajan di sekolah.
Setelah melayani tante yang kecapaian menempuh perjalanan dengan kereta setiap harinya, biasanya aku akan minta pinjam laptop dengan halus. Kalau sudah dipinjamkan, aku bisa masuk ke kamar dan kemudian mengurung diri, tenggelam dalam dunia lain, tempat pelarian hidup.
Malam ini, aku mau coba nonton seri anime yang berhasil kubeli dari penjual VCD bajakan di samping sekolah. Judulnya, “Da Capo”. Katanya ini film anime yang mengisahkan masa sekolah seseorang, yang begitu beruntung tapi begitu menyedihkan.
Baca-baca di milis Yahoogroups yang kuikuti, ini anime beberapa tahun lalu yang bagus ceritanya. Anehnya, ketika kutanyakan ini ke abang penjual VCD, dia menertawakanku, seakan-akan aku mau beli film dewasa.
Jangan-jangan, ini memang film dewasa. Kenapa aku tidak cek dari tadi?
“Hidup itu berat. Keras. Tapi ada masa ketika gue bersyukur pernah mengalami hidup sekeras ini. Cuma, kok gue nggak merasakan yang namanya cinta ya. Mungkin karena gue cuma punya nilai bagus di sekolah. Gak punya uang. Atau, boleh aja orang bilang kalau gue gak punya sense ama cewek. Apa memang Tuhan menciptakan dunia ini supaya orang populer bisa menginjak-injak mereka yang gak punya apa-apa.”
Aku sekolah di SMP dekat tempat aku menumpang tinggal. Dekat kok dari rumah, jadi gak perlu pake sepeda kalau mau sekolah. Kebiasaan jeleknya, aku sering terlambat karena menganggap santai, menonton kartun pagi dulu di televisi rumah. 6.40. 6.50. 6.55. 6.57, baru aku lari sekencang-kencangnya ke sekolah.
Berbeda dengan protagonis seri anime yang sering kutonton, kehidupan sekolahku tidak seburuk itu. Bukan orang yang sendiri. Bukan penggemar, eh, pengoleksi pajangan meja. Juga bukan sosok yang dekat dengan cewek. Tidak buruk, karena aku gak terlibat masalah sosial, bukan korban pembulian.
Polanya selalu sama. Masuk sekolah – kelas – istirahat – kelas – pulang. Cuma, ketika istirahat aku pergi ke perpustakaan di sekolah. Buku-bukunya memang sederhana, tapi aku senang membacanya.
Bukan buku fisika kelas berat. Bukan pula buku sosiologi atau politik. Tapi ada banyak sekali buku bacaan terbitan Balai Pustaka di sini. Plus stempel “Milik negara, tidak diperjualbelikan.”
Ditulis dalam suasana pedesaan, buku-buku Balai Pustaka ini menggambarkan protagonis yang berusaha keras menggapai cita-citanya.
Masih kuingat buku yang menceritakan perjuangan anak SMA yang mengikuti lomba demi membahagiakan orang tuanya. Sampai berlari dari rumahnya ke tempat kepala desa saat ada telepon dari Pusat, karena di desa dulu hanya di kantor desa-lah telepon dan televisi itu ada.
“Dunia itu luas ya. Berkat penemuan manusia, kualitas hidup manusia bisa meningkat. Bisa pula mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Gue gak tahu ke mana dunia akan bergerak. Biar begitu, gue gak mau terbawa arus.”
“Doni, mau makan bareng gak?”
Teriakan itu memecah lamunanku saat aku tengah duduk di dalam perpustakaan, ditemani hembusan kipas angin yang memecah pengapnya udara di tengah hari. Alhamdulillah! Muis-lah mungkin satu dari segelintir orang yang mau dekat denganku.
Bukannya aku tidak mau punya teman di sekolah. Tapi mencari yang sehobi, sulit sekali. Jadi aku harus bisa suka setidaknya satu topik yang tidak menjauh dari idealismeku. Aku tidak mau ikut-ikutan pergaulan bebas, nongkrong tidak jelas, meskipun memang aku terasa terlalu kaku kalau harus ngobrol sama orang. Kayak kalau ada hal penting aja baru kutegur orang.
Kalau Muis sudah datang, lamunan akan Shirakawa Kotori terpaksa harus kupendam, karena itu mengotori pikiran. Aku harus mengeluarkan jurus pergaulanku yang lain.
Jadi, kuambil koran Republika yang ada di perpustakaan. Juga koran Kompas, dan The Jakarta Post. Supaya kami bisa mulai ngobrol isu-isu terhangat saat ini.
Hmm, aneh juga ya, perpustakaan sekolah ini ternyata berlangganan koran berbahasa Inggris. Padahal kuyakin guru-guru tidak membaca koran berbahasa Inggris. Kalau pak Marwoto, biasanya baca Lampu Merah setiap mengawas ulangan IPS di kelas.
“Teman itu, apalagi kalau sahabat, harusnya isshin doutai. Sejiwa sehati. Meskipun nanti punya pasangan hidup dan idealisme masing-masing, tapi sahabat itu saling melengkapi, apa adanya.”
Aku tidak mau Muis tahu mengenai hobiku yang aneh selama ini. Tidak seorang pun yang boleh tahu kalau aku suka dengan anime. Biarkan orang melihat diriku sebagai sosok pendiam, dingin, keren, dan mudah-mudahan ada cewek yang nyangkut denganku.
Abang penjual VCD bajakan sepertinya tidak mau peduli dengan hal ini. Jadi setiap kali aku datang untuk beli film anime yang baru kudapatkan setelah buka milis, biasanya selalu ditanya, “elu hari ini mau cewek yang mana?”.
Di sini, masalahnya datang dari dua poros. Kalau dari cewek penggemar lagu-lagu boyband, mereka memandangku dengan pandangan jijik. Kalau dari anak yang biasa nongkrong, paling banter disiuli. Biasanya disiuli lebih parah bareng cewek yang jadi gandengan mereka.
Kali ini, aku mencoba judul baru. Utawarerumono. Katanya ini diangkat dari game porno. Abang VCD bilang kalau ini baru tayang di TV Jepang, jadi bakal gaul kalau nonton ini.
Tiba-tiba Muis sudah di sampingku.
“Don, ente……. beli apaan?”
Aku terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa. Apa ini akhir dari riwayatku?
“Eh, nggak. Ini cuma film biasa kok. Cuma.. iseng-iseng aja.”
Masih dalam muka yang agak gelagapan, aku berusaha menutupi apa yang kupegang. Tentunya, dalam ekspresi salah tingkah, aku sembunyikan keping VCD yang baru kudapatkan itu.
Lalu datanglah teman-teman Muis menghampiri. Ada dua orang yang kini berdiri di sampingnya. Ekspresi mereka berdua pun saja. Heran.
“Oke, gini aja, Don. Daripada elu repot-repot, malu-malu punya sesuatu yg elu suka tapi elu gak mau orang tahu, gimana kalau gabung aja ama kita bertiga?”
“Gabung…. sama kalian bertiga..?”
Aku masih tidak tahu apa maksud mereka ini. Ini seperti konspirasi Wahyudi yang aneh.
“Emang sih, gue bertiga cuma baru demen nonton Full Metal Panic, Ueki, dan MAR sih. Gue emang belum ke arah kayak anime AIR gitu. Tapi mungkin dengan elu gabung ama kita, kita bisa ngobrol bareng lebih lanjut.”
Aku masih tidak percaya. Jangan-jangan, ini akibat balsem Rhemason yang biasa kucium baunya di rumah?
“Oh iya. Kalo elu suka, gue juga ada poster Shana di rumah. Udah tahu belum Shakugan no Shana?”
“Kalo elu masih ragu, gue yang selama ini ngelihat postingan elu di milis. Ngelihat betapa elu begitu semangat ngebahas seri yang elu suka. Kesukaan elu ama… Bishoujo, yah meski gue gak nyampe ke situ sih…”
Masih dalam kondisi yang aku tak sadar, aku bingung apa yang kualami. Akhirnya, Muis menarik tanganku.
“Mudah-mudahan sebelum kita lulus, kita bisa bikin kumpul-kumpul penggemar anime di sekolah kita. Kalau perlu, jadi pendirinya. Biar kita bisa bebas, dan kalau buat gue, biar gue bisa ngajakin lebih banyak orang ikut liqo.”
Ternyata ada maksud tersembunyi juga dari Muis. Tapi, ya tidak masalah.
“Oke, Is. Aku mau banget. Dan satu hal, sori aku gak ngomong ini ke kalian, karena aku malu.”
“Gak apa-apa. Kalau begitu, ayo mampir ke rumah gue, trus kita nonton… eh, apa itu DVD yang baru elu beli…”
“Utawarerumono.”
“Iya, dah. Gue kalah dah kalau udah ngobrol soal anime kayak begituan, hehe.”
Masih dalam bayangan kalau ini efek memakai celana dalam buatan kaum Wahyudi, aku masih agak ragu. Apa maksudnya ini?
“Oh ya, Is. Tumben kamu pake elu-gue. Biasanya ane-ente kalau sama aku.”
“Ah, makanya ayo gaul. Yang penting kalau berteman, saling menghargai kegemaran masing-masing, ya nggak?”
Mungkin…. inilah yang namanya teman.
Mungkin dari sekarang, aku akan coba untuk merasakan bagaimana caranya berteman. Caranya mengekspresikan diri. Termasuk, menemukan orang yang mau menghargai diriku, apa adanya.
“Siapa saja pasti mengalami pahitnya kehidupan. Mulai yang keras, sampai ketika kepala mereka diinjak oleh orang lain. Tapi gue yakin, dari seluruh masalah hidup yang kita rasakan, belum tentu itu semua salah orang lain. Bisa jadi diri sendiri itulah yang harus berubah. Kita harus belajar memahami orang lain, karena menurut yang gue dapet selama mentoring, kewajiban manusia-lah untuk belajar sampai ke liang lahat.”
“Oh iya, gue belum perkenalan. Sekarang, anggep aja gue Muis, dan anggep aja kalau gue pernah ngalamin hidup kayak Doni ini dulu, sebelum gue sadar dan berubah.”
*cerita ini hanya fiktif belaka, bukan pengalaman pribadi penulis, dan kesamaan nama, tempat, maupun cerita semata kebetulan belaka.







Utawarerumono recomended, hehe
Memang diambil dari game porno, tapi cerita anime TV Series nya sama sekali ngga porno lho, malah menurut saya bagus tuh, Genre nya Action Fantasy Comedy + Harem. Yang suka genre ini, wajib nonton deh.
lumayan lah ada temen sehobi, saya jadi iri. Disini saja, saya masih bergerilya seorang diri…
ceritanya bagus namun melenceng dr kenyataan. terutama utk tokoh muis.