Di negara-negara Eropa, tato pada pesepakbola sudah menjadi hal biasa. Namun, kehidupan di Jepang masih memandang tato dengan stigma tertentu. Pesepakbola Yuki Kobayashi, mantan gelandang timnas Jepang yang kini bermain di Iwate Grulla Morioka, termasuk sedikit pemain yang berani tampil dengan tato di tubuhnya. Meski tidak ada larangan resmi dari J.League maupun timnas, pemain tetap dianjurkan menutup tato mereka saat acara resmi.
Akar Stigma dan Pandangan Sosial
Stigma negatif terhadap tato di Jepang berakar dari sejarah, di mana tato sering diasosiasikan dengan yakuza. Dampaknya, kehidupan di Jepang bagi orang bertato kerap penuh keterbatasan, mulai dari akses terbatas ke pemandian umum hingga komentar miring dari masyarakat. Kobayashi sendiri mengaku kerap diminta menutupi tato dengan pakaian panjang, bahkan saat suhu sangat panas di luar negeri.
Cerita Pribadi Yuki Kobayashi
Kobayashi mulai bertato pada usia 23 tahun. Tato pertamanya terinspirasi dari nama ibu dan saudara perempuannya. Meskipun ayahnya sempat kecewa karena namanya tidak ikut dicantumkan, Kobayashi kemudian menambahkan tato khusus untuk sang ayah. Ia menyebut tato bukan sekadar gaya, melainkan bentuk ekspresi diri dan pengingat perjalanan hidupnya di sepakbola. Namun, ia sadar bahwa kehidupan di Jepang membuatnya harus menyesuaikan diri, termasuk mengenakan pakaian panjang saat rapat bisnis atau acara resmi.
Antara Ekspresi dan Batasan Sosial
Meski tato semakin populer di kalangan anak muda, Kobayashi menilai masih banyak risiko bagi mereka yang tinggal di Jepang. Menurutnya, tato bisa memengaruhi peluang karier, pendidikan, hingga kehidupan sehari-hari. Ia menekankan pentingnya berpikir matang sebelum memutuskan untuk bertato. Baginya, tato adalah tanggung jawab pribadi, bukan sekadar tren. Pandangan ini memperlihatkan betapa kuatnya stigma yang masih melekat di kehidupan di Jepang terkait tato.
KAORI Newsline | Sumber











