Isu pernikahan sesama jenis kembali mengguncang perbincangan publik di Jepang setelah Pengadilan Tinggi Tokyo memutuskan bahwa penolakan terhadap pernikahan sesama jenis dianggap konstitusional. Putusan ini menandai perubahan besar dalam dinamika hukum yang berkaitan dengan kehidupan di Jepang, terutama karena sebelumnya lima putusan tingkat tinggi lain menyatakan sebaliknya. Keputusan terbaru ini menjadi pertama kalinya pengadilan tingkat tinggi memihak pada status quo.
Gugatan yang Berawal dari Delapan Penggugat
Kasus ini diajukan oleh delapan orang dalam hubungan sesama jenis yang tinggal di Tokyo. Mereka menilai bahwa aturan dalam hukum perdata yang menolak pengakuan pernikahan sesama jenis melanggar hak konstitusional warga negara. Menurut mereka, pembatasan tersebut menghambat hak untuk membangun keluarga sesuai identitas gender dan orientasi seksual—bagian penting dari keseharian dalam kehidupan di Jepang.
Pada Maret tahun lalu, pengadilan tingkat pertama mengakui bahwa kondisi tersebut berada dalam “keadaan inkonstitusional”, namun tetap menolak tuntutan ganti rugi. Para penggugat kemudian mengajukan banding, berharap putusan lebih progresif.
Pembalikan Tren Putusan Sebelumnya
Sejak 2019, enam gugatan mengenai pernikahan sesama jenis diajukan di berbagai wilayah Jepang. Putusan-putusan pengadilan negeri sebelumnya beragam—dua menyatakan inkonstitusional, tiga menyebut “inkonstitusional secara kondisi”, dan satu menyatakan konstitusional. Pada tingkat banding, seluruh putusan sebelumnya menyebut penolakan pernikahan sesama jenis sebagai inkonstitusional.
Namun kini, Pengadilan Tinggo Tokyo berbalik arah, menegaskan sikap bahwa aturan yang berlaku masih sesuai konstitusi. Putusan ini tentu menambah babak baru dalam dinamika hukum dan sosial terkait kehidupan di Jepang, terutama bagi komunitas LGBTQ+ yang berharap adanya reformasi regulasi.
Perdebatan yang Semakin Panas
Keputusan ini bukan hanya menggugurkan tuntutan para penggugat, tetapi juga memunculkan kembali perdebatan nasional tentang kesetaraan pernikahan. Banyak pihak menilai bahwa masyarakat Jepang kini jauh lebih terbuka terhadap keberagaman dibanding beberapa dekade lalu, sehingga hukum dianggap perlu menyesuaikan perkembangan sosial tersebut. Namun sebagian lainnya masih berpegang pada interpretasi tradisional perkawinan.
KAORI Newsline | Sumber











