Kehidupan di Jepang kembali diramaikan oleh perdebatan hukum terkait hak transgender. Pengadilan Tinggi Tokyo baru-baru ini menyatakan bahwa aturan yang mewajibkan perubahan penampilan alat kelamin bagi seseorang yang ingin mengganti status gendernya secara resmi bisa dianggap inkonstitusional. Kasus ini bermula dari seorang perempuan transgender yang telah menjalani terapi hormon selama 27 tahun, namun penampilan fisik alat kelaminnya tidak berubah.
Pada 31 Oktober 2025, pengadilan memutuskan untuk menyetujui permohonannya mengganti gender, dengan alasan bahwa aturan tersebut berpotensi melanggar Pasal 13 Konstitusi Jepang, yang menjamin kebebasan individu dari “intervensi terhadap tubuh tanpa kehendak pribadi.”
Dilema Antara Hukum dan Kemanusiaan
Dalam kehidupan di Jepang, isu transgender sering kali menjadi topik sensitif yang menimbulkan perdebatan sosial. Berdasarkan hukum saat ini, seseorang yang ingin mengganti status gendernya harus memenuhi sejumlah syarat ketat, termasuk berusia di atas 18 tahun, tidak memiliki anak di bawah umur, serta memiliki penampilan alat kelamin yang menyerupai gender baru mereka.
Masalahnya, aturan ini dinilai memaksa banyak orang untuk menjalani operasi yang tidak diinginkan hanya demi mendapatkan pengakuan hukum. Pengadilan menilai hal itu bertentangan dengan hak dasar atas kebebasan tubuh. Meski begitu, pengadilan tidak langsung menyatakan aturan tersebut batal, dan menyerahkan keputusan revisi hukum kepada parlemen.
Titik Balik dalam Isu Hak Transgender
Kehidupan di Jepang perlahan berubah dalam melihat isu identitas gender. Tahun lalu, Mahkamah Agung Jepang telah memutuskan bahwa syarat sterilisasi permanen bagi penggantian gender resmi adalah inkonstitusional. Namun, keputusan terbaru dari Pengadilan Tinggi Tokyo dianggap langkah lanjut yang berani menuju keadilan bagi kaum transgender.
Kasus ini diperkirakan akan menjadi dasar bagi diskusi hukum di masa depan mengenai bagaimana Jepang dapat menyeimbangkan aturan hukum dengan hak asasi manusia. Di tengah masyarakat yang semakin terbuka, keputusan ini menjadi refleksi bahwa kehidupan di Jepang pun sedang bergerak menuju penerimaan dan penghormatan terhadap keberagaman identitas.
KAORI Newsline | Sumber











