Sebuah survei terbaru dari lembaga nonprofit ReBit di Jepang mengungkap bahwa sekitar 90% siswa LGBTQ di sekolah menengah pertama dan atas mengalami kesulitan atau pelecehan di sekolah selama setahun terakhir. Temuan ini menyoroti betapa seriusnya tantangan yang dihadapi anak-anak LGBTQ dalam sistem pendidikan saat ini. Bahkan, lebih dari 60% responden menyebut bahwa guru dan staf sekolah turut berkontribusi pada situasi ini.
Peran Guru Justru Memperburuk Situasi
Tak hanya dari sesama siswa, banyak siswa LGBTQ melaporkan bahwa perlakuan diskriminatif juga datang dari guru. Mulai dari pemisahan berdasarkan gender yang tidak perlu hingga asumsi bahwa semua siswa adalah heteroseksual. Lebih dari 94% siswa juga merasa tidak aman untuk berkonsultasi dengan wali kelas mereka soal isu identitas seksual.
Dampak Serius pada Kesehatan Mental
Diskriminasi di lingkungan sekolah berdampak besar pada kesehatan mental siswa. Survei menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden usia 10 hingga 19 tahun pernah berpikir untuk bunuh diri, sementara sekitar 40% melukai diri sendiri. Situasi ini mempertegas pentingnya dukungan dan sistem pendampingan yang aman dan ramah bagi semua siswa di sekolah di Jepang.
Perubahan Kurikulum Belum Cukup
Meski pemerintah telah mengubah panduan pembelajaran dan mendorong pemahaman tentang keberagaman seksual di sekolah, implementasinya masih jauh dari merata. Hanya sekitar 59% siswa yang mengatakan bahwa mereka pernah diajarkan soal topik LGBTQ, dan sekitar 30% justru mendengar pernyataan diskriminatif dari guru.
Seruan untuk Dukungan Nyata
Dengan adanya Undang-Undang Pemahaman LGBTQ yang mulai berlaku sejak 2023, masyarakat berharap agar sekolah di Jepang lebih proaktif dalam menciptakan lingkungan yang inklusif. Direktur ReBit, Mika Yakushi, menegaskan bahwa kehadiran sosok yang bisa diajak bicara dengan aman dapat menurunkan risiko keinginan bunuh diri pada siswa LGBTQ.
KAORI Newsline | Sumber











